Manusia dan Alam Semesta
Dari sudut pandang manusia, yang ada adalah Allah Sang
Pencipta dan alam semesta yang diciptakan Allah. Sebelum Allah menciptakan Adam
sebagai manusia pertama, alam semesta telah diciptakan-Nya dengan tatanan kerja
yang teratur, rapi, dan serasi. Keteraturan, kerapian, dan keserasian ini dapat
dilihat dari dua kenyataan: Pertama,berupa keteraturan, kerapian, dan
keserasian dalam hubungan alamiah antara bagian-bagian di dalamnya dengan pola
saling melengkapi dan mendukung; Kedua, keteraturan yang ditugaskan kepada
malaikat untuk menjaga dan melaksanakannya. Kedua hal itulah yang membuat berbagai
keteraturan, kerapian, dan keserasian yang kita yakini sebagai Sunnatullah
yakni ketentuan dan hukum yang ditetapkan Allah. Seperti pada matahari sebagai
pusat dari sistem tata surya, berputar pada sumbunya dan memancarkan energinya
kepada alam semesta secara teratur dan tetap.
Ada tiga sifat utama Sunnatullah yang
disinggung dalam Al-Qur’an, yaitu: pasti, tetap, dan obyektif. Sifat yang
pertama, yaitu pasti, tentu menjamin dan memberi kemudahan kepada manusia
membuat rencana, sehingga dapat membuat perhitungan yang tepat menurut Sunnatullah:
"… Dia telah menciptakan sesuatu, dan Dia (pula
yang) memastikan (menentukan) ukurannya dengan sangat rapi." (QS 25:2)
"… Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan (kepastian) bagi tiap sesuatu." (QS 65:3)
"… Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan (kepastian) bagi tiap sesuatu." (QS 65:3)
Sifat yang kedua adalah tetap, tidak berubah-ubah:
"… Tidak ada yang sanggup menggubah
kalimat-kalimat Allah." (QS 6:115)
"… Dan engkau tidak akan menemui perubahan dalam Sunnah kami …" (QS 17:77)
"… Dan engkau tidak akan menemui perubahan dalam Sunnah kami …" (QS 17:77)
Sifat yang ketiga adalah obyektif:
"…, bahwasanya dunia ini akan diwarisi oleh
hamba-hamba-Ku yang saleh." (QS 21:105)
Demikianlah alam semesta diciptakan Allah dengan
hukum-hukum yang berlaku baginya yang (kemudian) diserahkan-Nya kepada manusia
untuk dikelola dan dimanfaatkan, sebagai khalifah. Untuk dapat menjalankan
kedudukannya itu manusia diberi bekal berupa potensi seperti akal yang
melahirkan berbagai ilmu sebagai alat untuk mengelola dan memanfaatkan alam
semesta serta mengurus bumi ini.
"Dia telah mengajarkan kepada Adam nama-nama
(benda) seluruhnya …" (QS 2:31)
Dengan akal dan ilmu yang dikuasainya, manusia akan
mampu mengelola dan memanfaatkan alam semesta serta bumi ini untuk kepentingan
manusia serta makhluk lain. Atas pelaksanaan amanat tersebut manusia akan
dimintai pertanggungjawabannya di akherat apakah telah mengikuti dan mematuhi
pola dan garis besar yang diberikan melalui para nabi dan rasul yang termuat
dalam ajaran agama.
Manusia Menurut Agama Islam
Al-Qur’an tidak menggolongkan manusia ke dalam
kelompok hewan selama manusia mempergunakan akal dan karunia Tuhan lainnya.
Namun bila manusia tidak mempergunakan akal dan berbagai potensi pemberian
Tuhan yang sangat tinggi nilainya seperti: pemikiran, kalbu, jiwa, raga, serta
pancaindera secara baik dan benar, ia akan menurunkan derajatnya sendiri
menjadi hewan:
"… Mereka (manusia) punya hati tetapi tidak
dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah), punya mata tetapi tidak
dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), punya telinga tetapi
tidak mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka (manusia) yang seperti itu sama
(martabatnya) dengan hewan bahkan lebih rendah (lagi) dari binatang." (QS
7:179)
Di dalam Al-Qur’an manusia disebut antara lain dengan al-insan
(QS 76:1), an-nas (QS 114:1), basyar (QS 18:110), bani
adam (QS 17:70). Berdasarkan studi isi Al-Qur’an dan Al-Hadits, manusia (al-insan)
adalah makhluk ciptaan Allah yang memiliki potensi untuk beriman kepada Allah
dan dengan mempergunakan akalnya mampu memahami dan mengamalkan wahyu serta
mengamati gejala-gejala alam, mempunyai rsa tanggung jawab atas segala
perbuatannya dan berakhlak (N.A. Rasyid, 1983: 19). Berdasarkan rumusan
tersebut, manusia mempunyai berbagai ciri sebagai berikut:
- Makhluk yang paling unik, dijadikan dalam bentuk yang sangat baik, ciptaan Tuhan yang paling sempurna.
"Sesungguhnya Kami telah menjadikan manusia dalam
bentuk yang sebaik-baiknya." (QS 95:4)
- Manusia memiliki potensi (daya atau kemampuan yang mungkin dikembangkan) beriman kepada Allah.
"… ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab,
‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.’ " (QS 7:172)
- Manusia diciptakan Allah untuk mengabdi kepada-Nya.
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka menyembah-Ku." (QS 51:56)
- Manusia diciptakan Tuhan untuk menjadi khalifahnya di bumi.
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para
malaikat: ‘Sesunggunya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ …
" (QS 2:30)
- Manusia dilengkapi akal, perasaan, dan kemauan atau kehendak.
"Dan katakanlah: ‘kebenaran itu datangnya dari
Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan
barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.’ …" (QS 18:29}
- Manusia secara individual bertanggung jawab atas segala perbuatannya.
"… Setiap orang (manusia) terikat (bertanggung
jawab) terhadap apa yang dilakukannya." (QS 52:21)
- Manusia itu berakhlak.
Manusia menurut agama Islam, terdiri dari dua unsur,
yaitu unsur materi berupa tubuh yang berasal dari tanah dan unsur immateri
berupa roh yang berasal dari alam gaib. Al-Qur’an mengungkapkan proses
penciptaan manusia:
"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia
dari suatu saripati (berasal dari) tanah [12]. Kemudian Kami jadikan saripati
itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim) [13]. Kemudian air
mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan
segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu
tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan ia
makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Suci-lah Allah, Pencipta Yang Paling
Baik [14]. Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan
Yang memulai penciptaan manusia dari tanah [7]. Kemudian Dia menjadikan
keturunannya dari saripati air yang hina (air mani) [8]. Kemudian Dia
menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya roh (ciptaan)-Nya dan Dia
menjadikan bagi Kamu pendengaran, penglihatan, dan hati; (tetapi) kamu sedikit
sekali bersyukur [9]." (QS 23:12-14, 32:7-9)
Sedangkan menurut hadits, Rasulullah bersabda:
"Sesungguhnya, setiap manusia dikumpulkan
kejadiannya dalam perut ibunya selama empat puluh hari sebagai nuthfah (air
mani), empat puluh hari sebagai ‘alaqah (segumpal darah), selama itu pula
sebagai mudhghah (segumpal daging). Kemudian Allah mengutus malaikat untuk
meniupkan roh ke dalam tubuh manusia, yang berada dalam rahim itu" (HR
Bukhari dan Muslim)
Ali Syari’ati – sejarawan dan ahli sosiologi Islam
terkemuka – mengemukakan pendapatnya mengenai intrepretasi hakikat kejadian
manusia. Manusia menpunyai dua dimensi: dimensi ketuhanan (kecendrungan manusia
untuk mendekatkan diri kepada Allah) dan dimensi kerendahan atau kehinaan
(lumpur mencerminkan keburukan-kehinaan). Karena itulah manusia dapat mencapai
derajat yang tinggi namun dapat pula terperosok dalam lembah yang hina, yang
manusia dibebaskan untuk memilihnya.
Ali Syari’ati memberikan makna tentang filsafat
manusia:
- Manusia tidaklah sama (konsep hukum), tetapi bersaudara (asal kejadian).
- Manusia mempunyai persamaan antara pria dan wanita (sumber yang sama yakni dari Tuhan).
- Manusia mempunyai derajat yang lebih tinggi dari malaikat karena pengetahuan yang dimilikinya.
- Manusia memiliki fenomena dualistis: terdiri dari tanah dan roh Tuhan, yang terdapat kebebasan pada dirinya untuk memilih.
Atas kebebasan memilih tersebut, manusia bergerak
dalam spektrum yang mengarah ke jalan Tuhan atau sebaliknya mengarah ke jalan
setan. Manusia dengan akalnya sebagai suatu hidayah Allah kepada-Nya , memilih
apakah ia akan terbenam dalam lumpur kehinaan atau menuju ke kutub mulia ke
arah Tuhan. Dalam menentukan pilihan manusia memerlukan petunjuk yang benar
yang terdapat dalam agama Allah yaitu agama Islam, yang menyeimbangkan antara
dunia dan akherat.
"Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah
hanyalah Islam …" (QS 3:19)
Manusia sebagai makhluk Ilahi hidup dan kehidupannya
berjalan melalui lima tahap: (1) alam gaib, (2) alam rahim, (3) alam dunia, (4)
alam barzakh, dan (5) alam akherat. Dari kelima tahapan kehidupan manusia
itu, tahap kehidupan di dunia merupakan tahap yang menentukan tahap kehidupan
selanjutnya, sehingga manusia dikaruniai Allah dengan berbagai alat
perlengkapan dan bekal agar dapat menjalankan tugas sebagai khalifah di
bumi, serta pedoman agar selamat sejahtera di dunia dalam perjalanannya menuju
tempatnya yang kekal di akherat nanti. Pedoman itu adalah agama.
Sesunguhnya manusia diciptakan Allah untuk beribadah
kepada-Nya. Apa arti ibadah? Apakah secara ritual menyembah Allah, shalat lima
waktu, puasa, zakat, dan berhaji saja? Bila memang itu maknanya, lalu bagaimana
dengan usaha mempertahankan hidup? Apakah hanya dengan shalat maka hidangan
akan disediakan Allah begitu saja? Tentu tidak, kita sebagai manusia harus
berusaha memperoleh makan dan minum. Sebagai manusia kita harus bekerja untuk
memperoleh penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidup. Bila ibadah hanya
diartikan sebatas pada ibadah ritual belaka dan tidak memasukkan bekerja
sebagai suatu ibadah pula, maka merugilah manusia karena hanya sedikit dari
waktunya untuk beribadah, bila dibandingkan ibadah dalam artian luas yang tidak
terbatas pada ibadah ritual belaka. Tujuan ibadah:
"Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah
menciptakanmu dan orang-orang sebelummu, agar kamu bertaqwa." (QS 2:21)
Prof.DR. M. Mutawwali As-Sya’rani mengutarakan bahwa:
manusia diberi sarana oleh-Nya, diberi bumi yang tunggal dan beribadah
pada-Nya, Alah telah memberi kewajiban-kewajiban, karenanya Allah meminta hak
agar manusia beribadah kepada-Nya dengan tujuan agar manusia dapat terhindar
dari soal-soal buruk yang merugikan di dunia.
Agama: Arti dan Ruang Lingkupnya
Sesuai dengan asal muasal katanya (sansekerta:
agama,igama, dan ugama) maka makna agama dapat diutarakan sebagai berikut:
agama artinya peraturan, tata cara, upacara hubungan manusia dengan raja; igama
artinya peraturan, tata cara, upacara hubungan dengan dewa-dewa; ugama artinya
peraturan, tata cara, hubungan antar manusia; yang merupakan perubahan arti
pergi menjadi jalan yang juga terdapat dalam pengertian agama lainnya. Bagi
orang Eropa, religion hanyalah mengatur hubungan tetap (vertikal) anatar
manusia dengan Tuhan saja. Menurut ajaran Islam, istilah din yang
tercantum dalam Al-Qur’an mengandung pengertian hubungan manusia dengan Tuhan
(vertikal) dan hubungan manusia dengan manusia dalam masyarakat termasuk
dirinya sendiri, dan alam lingkungan hidupnya (horisontal).
"… Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah kuridhai Islam itu
jadi agama(din) bagimu …" (QS 5:3)
"Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia …" (QS 3:112)
"Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia …" (QS 3:112)
Persamaan istilah agama tidak dapat dijadikan alasan
untuk menyebutkan bahwa semua agama adalah sama, karena adanya perbedaan makna
atas istilah agama tersebut, yang berbeda atas sistem, ruang lingkupnya, dan
klasifikasinya.
Karena agama merupakan kepentingan mutlak setiap orang
dan setiap orang terlibat dengan agama yang dipeluknya maka tidaklah mudah
untuk membuat suatu defenisi yang mencakup semua agama, namun secara umum dapat
didefenisikan sebagai berikut: agama adalah kepercayaan kepada Tuhan yang dinyatakan
dengan mengadakan hubungan dengan-Nya melalui upacara, penyembahan dan
permohonan, dan membentuk sikap hidup manusia menurut atau berdasarkan ajaran
agama itu.
Hubungan Manusia dengan Agama
Tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah
kepada Allah sebagai pencipta alam semesta. Allah sendiri yang mencipta dan
memerintahkan ciptaan-Nya untuk beribadah kepada-Nya, juga menurunkan panduan
agar dapat beribadah dengan benar. Panduan tersebut diturunkan Allah melalui
nabi-nabi dan rasul-rasul-Nya, dari Adam AS hingga Muhammad SAW. Nabi-nabi dan
rasul-rasul tersebut hanya menerima Allah sebagai Tuhan mereka dan Islam
sebagai panduan kehidupan mereka. Beribadah diartikan secara luas meliputi seluruh
hal dalam kehidupan yang ditujukan hanya kepada Allah. Kita meyakini bahwa
hanya Islamlah panduan bagi manusia menuju kebahagiaan dunia dan akherat. Islam
telah mengatur berbagai perihal dalam kehidupan manusia. Islam merupakan sistem
hidup, bukan sekedar agama yang mengatur ibadah ritual belaka.
Sayangnya, pada saat ini, kebanyakan kaum muslim tidak
memahami hal ini. Mereka memahami ajaran Islam sebagaimana para penganut agama
lain memahami ajaran agama mereka masing-masing, yakni bahwa ajaran agama hanya
berlaku di tempat-tempat ibadah dan dilaksanakan secara ritual, tanpa ada
aplikasi dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut biasanya disebabkan karena
dua hal: Pertama, terjadinya gerakan pembaruan di Eropa yang fikenal sebagai Renaissance
dan Humanisme, sebagai reaksi masyarakat yang dikekang oleh kaum
gereja pada masa abad pertengahan atau Dark Ages, kaum gereja mendirikan
mahkamah inkuisisi yang digunakan untuk menghabisi para ilmuwan, cendikiawan,
serta pembaharu. Setelah itu, pada masa Renaissance, masyarakat menilai
bahwa Tuhan hanya berkuasa di gereja , sedangkan di luar itu masyarakat dan
rajalah yang berkuasa. Paham dikotomis ini kemudian dibawa ke Asia
melalui penjajahan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa; Kedua, masih adanya
ulama-ulama yang jumud, kaku dalam menerapkan syariat-syariat Islam, tidak
dapat atau tidak mau mengikuti perkembangan jaman. Padahal selama tidak
melanggar Al-Qur’an dan Hadits, ajaran-ajaran Islam adalah luwes dan dapat
selalu mengikuti perkembangan zaman. Akibat kejumudan tersebut, banyak kalangan
masyrakat yang merasa takut atau kesulitan dalam menerapkan syariat-syariat
Islam dan menilainya tidak aplikatif. Ini membuat masyarakat semakin jauh dari
syariat Islam.
Paham dikotomis melalui sekularisme tersebut antara lain
dipengaruhi terutama oleh pemikiran August Comte melalui bukunya Course de
la Philosophie Positive (1842) mengemukakan bahwa sepanjang sejarah
pemikiran manusia berkembang melalui tiga tahap: (1) tahap teologik, (2) tahap
metafisik, dan (3) tahap positif; pemikiran tersebut melahirkan filsafat positivisme
yang mempengaruhi ilmu pengetahuan sosial dan humaniora, melalui
sekularisme. Namun teori tersebut tidaklah benar, sebab perkembangan
pemikiran manusia tidaklah demikian, seperti pada zaman modern ini (tahap
ketiga), manusia masih tetap percaya pada Tuhan dan metafisika, bahkan kembali
kepada spiritualisme.
Sejarah umat manusia di barat menunjukkan bahwa dengan
mengenyampingkan agama dan mengutamakan ilmu dan akal manusia semata-mata telah
membawa krisis dan malapetaka. Atas pengalamannya tersebut, kini perhatian
manusia kembali kepada agama, karena: (1) Ilmuwan yang selama ini meninggalkan
agama, kembali pada agama sebagai pegangan hidup yang sesungguhnya, dan (2)
harapan manusia pada otak manusia untuk memecahkan segala masalah di masa lalu
tidak terwujud.
Kemajuan ilmu pengetahuan telah membawa manusia pada
tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi, namun dampak negatifnya juga cukup
besar berpengaruh pada kehidupan manusia secara keseluruhan. Sehingga untuk
dapat mengendalikan hal tersebut diperlukan agama, untuk diarahkan untuk
keselamatan dan kebahagiaan umat manusia.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa agama sangat
diperlukan oleh manusia sebagai pegangan hidup sehingga ilmu dapat menjadi
lebih bermakna, yang dalam hal ini adalah Islam. Agama Islam adalah agama yang
selalu mendorong manusia untuk mempergunakan akalnya memahami ayat-ayat kauniyah
(Sunnatullah) yang terbentang di alam semesta dan ayat-ayat qur’aniyah
yang terdapat dalam Al-Qur’an, menyeimbangkan antara dunia dan akherat. Dengan
ilmu kehidupan manusia akan bermutu, dengan agama kehidupan manusia akan lebih
bermakna, dengan ilmu dan agama kehidupan manusia akan sempurna dan bahagia.
0 komentar:
Posting Komentar